Kita Berani, Bullying Pergi.

              

Bullying? Bukanlah sebuah kata yang asing bagi masyarakat. Sering sekali kita mendengar tentang kejahatan yang satu ini. Namun terkadang kita justru tidak menyadari bahwa kita juga pernah menjadi pelaku bullying itu sendiri. Secara umum, istilah bullying adalah tindakan dimana sa orang atau lebih mencoba atau mengontrol orang lain dengan cara kekerasan. Dilansir dari viva.co.id data survei mengatakan sebanyak 84 persen anak usia 12 tahun hingga 17 tahun pernah menjadi korban bullying. Sungguh hal ini menjadi sebuah ironi, anak yang harusnya hidup dalam kesenangan justru menjadi korban dari bullying. Bullying pada anak sangat sering terjadi di dalam lingkungan pendidikan. Kurang ketatnya pengawasan terhadap siswa membuat banyak sekali pelaku bullying di dalam sekolah. Meskipun tidak ada peraturan mengenai bullying di sekolah, dalam undang – undang perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 54 menyatakan “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman – temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Dengan kata lain, siswa mempunyai hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut.
              Banyaknya korban tentu representasi dari banyaknya pelaku. Namun, adakah pembela untuk korban – korban tersebut? Masih adakah orang benar dan berani yang mencoba membela korban bullying?. Ya, inilah sebuah kisah ironi yang ingin saya ceritakan. Ini bukanlah cerita pribadi saya, namun merupakan sebuah fakta dan cerita yang sangat umum terjadi di dunia pendidikan. Bukan menjadi rahasia bahwa korban dan pelaku bullying adalah siswa itu sendiri. Siswa yang seharusnya memiliki etika dan moral yang baik justru menjadi seorang pelaku bullying. Di dalam satu sekolah tentunya memiliki jumlah siswa yang sangat banyak. Dengan banyaknya jumlah siswa tersebut tidak adakah yang berani dan mau membela para korban bullying? Sehancur inikah mental siswa Indonesia?. Bukanlah kesadaran siswa yang tidak ada untuk membela korban, namun mental dan keberanian yang belum dimiliki oleh siswa tersebut. Bukan karena tak ingin menolong, namun lebih kepada ketakutan yang timbul karena pembela korban bullying akan berubah menjadi korban bullying pula. Rasa takut untuk menjadi korban bullying inilah yang membuat orang – orang yang sebetulnya mempunyai niat untuk menolong korban bullying menjadi sirna. Disinilah ironi yang terjadi, bagaimana seorang yang memiliki niat menolong dikalahkan oleh rasa takut menjadi seorang korban. Inilah ironi bagaimana membela menjadi perbuatan yang tercela. Namun, saya sampaikan kepada seluruh pembaca bahwa “Diam Bukan Pilihan”. Kebenaran harus ditegakkan, keberanian harus dimunculkan.

              Membentuk mental siswa yang berani membela kebenaran bukanlah hal yang mudah. Perlu sinergi antara orang tua, pihak sekolah, serta pemerintah untuk dapat mewujudkan mental anak yang baik. Orang tua dan Guru sebagai orang yang terdekat dengan siswa harus menjadi pelopor untuk menanamkan mental yang baik pada siswa. Menanamkan mental yang jujur, berani, tidak takut membela yang benar perlu dinanamkan sedari dini untuk menghindari siswa menjadi pelaku bullying. Selain faktor internal, tentunya diperlukan juga pelopor dari faktor internal siswa. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan saksi dan korban perlu banyak dilibatkan dalam upaya pencegahan bullying ini. LPSK harus berperan aktif tidak hanya sewaktu sudah ada tindak kejahatan bullying saja, namun harus ikut dalam upaya pencegahan bullying. Sosialisasi harus gencar dilakukan, tidak hanya untuk menanamkan mental yang baik untuk siswa namun juga untuk menyadarkan siswa bahwa ketika menjadi pembela korban bullying mereka juga berhak mendapat perlindungan dari LPSK. Perlu kita sadari bersama bahwa dewasa ini masih banyak siswa yang kurang mengerti akan fungsi dari LPSK, sehingga masih banyak siswa yang  tidak melaporkan tindak kejahatan khususnya kasus bullying. Tidak hanya siswa seringkali masyarakat pada umumnya juga masih banyak yang kurang mengerti apa itu LPSK dan fungsi dari LPSK itu sendiri. Oleh sebab itu sosialisasi secara terus menerus perlu dilakukan. Baik di sekolah maupun di tengah masyarakat pada umumnya. Ketika mental dan keberanian siswa dapat dipupuk dengan baik, maka pelaku bullying akan takut untuk mengulangi perilakunya. Bullying tak seharusnya dibiarkan, hanya diam ketika melihat bullying merupakan suatu kesalahan. Jangan takut untuk menjadi orang benar. Takutlah ketika melakukan kesalahan.  Jika belum berani membela, LPSK akan senantiasa ada.  
#DiamBukanPilihan
#LPSKMelindungi

Titus Adhi Sukmana
3 Oktober 2017



Referensi : 

Kita Berani, Bullying Pergi. Kita Berani, Bullying Pergi. Reviewed by Unknown on October 02, 2017 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.